Politik Kemanusiaan

Jinteristi
4 min readSep 11, 2021

--

Politik adalah lokomotif negara menuju kedamaian dan kemakmuran. Berbagai instrumen kepemerintahan dan kenegaraan harus direstui melalui mekanisme politik. Kekuasaan yang bersifat mutlat berada di tangan-tangan politisi. Seorang profesional pun tidak punya hak tanpa embel-embel motif politik.

Partai politik mempunyai peran strategis mengusung tokoh, menentukan kebijakan, dan mengatur laju lokomotif negara. Mereka yang berperan sebagai oposan maupun budak (koalisi) pemerintahan. Menjadi sutradara drama politik yang membawa penonton (masyarakat) terlarut dalam alur cerita. Pujian, cacian, kritik, konflik vertikal dan hosrizontal di tengah masyarakat.

Sikap apatis beberapa masyarakat terhadap politisi dianggap “kotoran” demokrasi. Membeli media untuk menarik dan menggerakan massa. Masyarakat seolah menjadi mainan politisi dan partainya untuk mendapatkan kekuasaan. Menindas musuh, menjatah kekuasaan bagi kolega. Politik prematur di Indonesia menjadi sesuatu yang mubah dan lumrah bagi realita kehidupan bernegara.

Mengingat seberapa urgensi peran partai politik untuk menyalurkan hasrat berkuasa, banyak kalangan profesional banting setir menjadi politisi. Menciptakan partai baru untuk mencari massa di daerah tertentu. Semakin kokoh pondasi partai, semakin besar peluang menjadi lokomotif negara. Masyarakat kian terlena dengan janji-janji kesejahteraan masa kampanye. Kemudian menjadi “penjahat” media sosial ketika janji politisi tidak terimplementasi dengan baik.

Tipuan dalam politik adalah bumbu untuk meracuni masyarakat agar bersikap fanatik. Setelahnya diolah menjadi fans garis keras yang buta pada realita. Politisi tersenyum bermandikan harta, masyarakat bersorak sorai karena jagoannya menang di arena petarungan ideologi politik negara. Partai-partai kecil menyusun strategi untuk menggantungkan nasibnya kepada partai besar dengan harapan mendapat massa dan duduk manis di parlemen.

Sisi kemanusian politisi hanya terlihat mencolok ketika masa-masa kampanye. Selebihnya menjadi sosok yang arogan terhadap popularitas dan mungkin tindak pencucian uang (korupsi). Mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan selain faktor pencitraan. Aktivis dibungkam suaranya, organisasi masyarakat dicekoki sumbangan dana, lembaga negara dikekang dengan Undang-Undang. Pemerintah adalah raja, politisi adalah bangsawan, dan rakyat adalah budak.

Menuju 2024

Pesta demokrasi adalah hajatan akbar para politisi menjadi malaikat bertopeng di masyarakat. Meski masih 3 tahun, namun tidak ada yang terlalu dini bagi politik. Menyusun strategi jauh sebelum “perang politik” tahun 2024. Partai politik besar mulai mencitrakan tokoh politisi terbaiknya untuk memimpin negeri. Partai politik yang tidak terlalu dominan mulai silaturahmi ke tokoh-tokoh nasional.

Sesaat masyarakat dibuat terlena dengan pandemi Covid-19 untuk menikmati alur politik dalam negeri. Vaksinasi nasional dianggap mampu menyelesaikan segala hal yang berkaitan dengan pandemi. Politisi sibuk mencitrakan diri di media sosial, isu politik identitas kembali mengemuka, dan partai-partai politik intens melakukan lobi-lobi politik.

Tidak seperti sebelumnya yang memunculkan 2 tokoh dengan elektabilitas tinggi, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, pilpres tahun 2024 memunculkan banyak tokoh untuk mengisi slot presiden. Puan Maharani, Anies Baswedan, Agus Harimukti Yudhoyono, Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan masih beberapa tokoh nasional lainnya digadang pantas menjabat RI 1.

Narasi politik kemanusiaan mengenai penanganan kasus pandemi dinilai siasat untuk mengangkat kredibilitas partai. Partai nasionalis dan partai agamis saling bahu membahu mendominasi pemilu, melalaikan nilai-nilai substansial partai politik yang mengedepankan faktor kemanusiaan untuk mencapai tujuan negara yang adil, makmur, dan sejahtera.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, bantuan kepada partai tingkat pusat yang memiliki kursi di DPR naik menjadi Rp 1.000 per suara sah dari sebelumnya Rp 108. Kemudian untuk partai politik di tingkat provinsi mendapat dana bantuan Rp 1.200 per suara sah. Sementara untuk partai politik di tingkat kabupaten/kota mendapat dana bantuan Rp 1.500 per suara sah. Bahkan di tahun 2023, pemerintah siap mengucurkan dana 6 triliun kepada partai politik yang diambil dari APBN.

Anggaran sebesar itu sebagian dialokasikan untuk kampanye partai dan tokoh politik untuk berkuasa di lembaga pemerintahan (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif). Mungkin sebagian kecil dialokasikan untuk bantuan kemanusiaan. Padahal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008, salah satu kewajiban partai politik adalah berpartisipasi dalam pembangunan nasional, bukan hanya pembangunan partainya masing-masing.

Tujuan partai politik adalah untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika partai politik dan politisinya masih egois mementingkan elektabilitas partainya untuk bertahan di parlemen, maka nilai-nilai kemanusiaan hanya akan dijadikan alat kampanye tanpa implementasi yang jelas. Seolah partai politik tidak bertanggungjawab atas kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan hancurnya ketahanan nasional ketika segalanya dilemparkan ke pemerintah pusat dan daerah. Politisi bersembunyi melempar isu memperkeruh konflik nasional. Mencederai demokrasi dengan tetap menikmati anggaran besar dari pemerintah.

Membiarkan rakyat mati kelaparan, tidak punya harapan pada masa depan, tersiksa karena protokol kesehatan Covid-19, dan lain sebagainya. Berpolitik memang alat untuk menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan, selain sibuk bertarung dalam kontestasi politik. Termasuk di situasi genting mengatasi masalah pandemi.

Pernah dimuat Pantura Post

https://panturapost.com/opini-siasat-politik-kemanusiaan-di-tengah-pandemi/

Baca tulisan saya yang lain di Maqola

--

--

Jinteristi

Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis buku dan naskah drama. Aktif menulis opini di media daring dan luring. https://literasipartai.blogspot.com/